Cerpen: Pengorbanan Jam Tangan
Aku masih tersulut amarah karena jam
tanganku kemarin yang masih berumur 3 hari pecah begitu saja karena
ketidaksengajaanku menjatuhkannya ketika di kelas kemarin selepas aku wudhu
untuk menunaikan sholat dhuha berjamaah di masjid sekolah. Jam tangan yang
sangat aku gandrungi dengan warna ungu dengan desain yang menarik kini terlihat
jelek dan kacanya retak seperti retaknya hatiku saat melihat jam tanganku
terjatuh dari genggaman.
Jam tangan berwarna ungu itu terbeli olehku
saat aku dan ayah berjalan-jalan di sebuah mall tak jauh dari rumahku. Ayah
memang sengaja mengajakku untuk pergi jalan-jalan untuk menyenangkan
dikarenakan aku murung karena ulah adik kecilku yang telah mencorat-coret buku
diaryku. Memang terlihat sepele, tapi tetap saja aku tak terima. Melihat aku yang terus murung membuat ayah
berinisiatif untuk mengajakku keluar, ia selalu berusaha untuk menyenangkan
anaknya dan berusaha adil terhadap anak-anaknya serta mau berkorban untuk
keluarga.
Sesampai di rumah, aku melepas seragamku
dan segera mengadu ke ayah perihal jam tanganku yang retak. Aku marah dan
menuding ayahku untuk bertanggung jawab untuk membelikan jam tangan baru.
“Yah, jam tanganku retak. Padahal aku masih
sayang dengan jam ini. Pokoknya ayah harus mengganti jam tangan ini dengan yang
baru. Aku iri yah dengan teman-teman karena hampir mereka semua memakai jam
tangan”, aku merengek sembari memegangi jam tanganku.
“Loh, kok ayah yang tanggung jawab! Kan
yang memecahkan Ita bukan ayah. Berhubung jam tangannya masih bagus ini masih
bisa diperbaiki kok. Nanti coba ayah benahin ya!”, ayah mencoba menenangkan
diriku yang terus merengek pada ayah.
“Pokoknya aku mau jam tangan ini utuh lagi.
Aku masih suka dengan jam ini”, sergahku dan tanpa sopan meninggalkan ayah
begitu saja.
***
Keesokan
harinya aku mendapati jam tanganku di meja kamar dalam keadaan kaca yang sudah
tak pecah lagi. Aku sangat senang sekali karena jam tanganku telah kembali utuh
dan dapat ku pakai lagi untuk sekolah. Aku langsung berganti pakaian dan
memakai rok abu-abu dan mencomot tasku dan bergegas berangkat sekolah. Ayah
selalu mengantarku sekolah, karena kebetulan tempat ayah bekerja searah dengan
sekolahku.
Di
teras aku mendapati ayah mensol sepatu hitam dan mengenakannya. Aku menghampiri
ayah dan menghujani dengan pertanyaan perihal utuhnya kembali jam tanganku.
“Yah, ini jam tanganku kok sudah utuh lagi
kacanya. Ayah ya yang benahin?”, tanyaku sambil mengenakan helm.
“Iya, bagaimana? Senang kan jam tangannya
utuh lagi?”, ayah menjawab dengan cengigiran sembari mengenakan jaket.
“Iya dong yah, kalo gini kan aku enggak
bakal malu sama teman-teman karena tidak memakai jam tangan. Aku kan juga ingin
terlihat trendy seperti teman-teman yang lain”, jawabku dengan egois
tanpa menanyakan dari mana asal kaca yang diperoleh ayah untuk mengganti kaca
jam tanganku.
“Ya sudah, ayo berangkat nanti keburu kamu
telat nanti di marahin sama pak satpam”, sergah ayah.
“Eh,
ibu belum cium ita, sekalian ini bekalnya juga ketinggalan”, ibu tiba-tiba
muncul dari balik pintu dan memberiku kotak makanan dan botol air minum untuk
bekal sekolahku.
“Oh
iya, tadi Ita lupa enggak memasukkan ke tas soalnya buru-buru takut telat”, aku
mencoba berkilah dari ibu.
“Ya
sudah, hati-hati di jalan jangan lupa berdoa sebelum berangkat. Ayah, jangan
ngebut-ngebut! Utamakan keselamatan di jalan. Enggak usah buru-buru ingin
sampai”, ibu menasehati sedangkan aku mencium tangannya.
“Siap
bu bos”, jawabku singkat dengan mengulur senyum.
“Iya,
siap!”, ayah menjawab singkat.
***
Sepulang sekolah aku melepas bajuku
dan meletakkan tasku di atas meja lalu menghempaskan tubuhku di atas Kasur
empuk kamarku. Aku masih terus memandangi jam tanganku yang berwarna ungu.
Entahlah aku sangat menyangi jam tangan ini. disamping karena aku suka warna
ungu tapi desainnya juga bagus. Tiba-tiba aku merasa haus dan aku bergegas
untuk mengambil air minum di ruang tengah.
Di
atas sebuah meja dekat galon air minum aku mendapati sebuah jam tangan hitam
tergeletak. Kacanya entah kemana, akan tetapi jam tangannya masih terlihat
bagus. Aku merasa ingin tahu dan penasaran milik siapa jam tangan ini. Tanpa
berpikir panjang aku mencari ibu untuk menjawab kiranya ibu tahu milik siapa
jam tangan ini. aku berjalan menuju dapur dan ternyata ibu sedang memasak untuk
hidangan makan siang.
“Bu,
ini jam tangan siapa? Kok kacanya hilang, padahal kan masih bagus”, tanyaku
pada ibu sambil menyodorkan jam tangan hitam itu pada ibu.
“Oh,
ini jam tangan kesayangan ayah. Dulu pas masih pacaran sama ibu, ayah sering
memakai jam tangan ini. Ayah pernah cerita ke ibu kalau jam tangan ini
pemberian dari almarhum ibunya. Ayah sayang sekali dengan jam tangan ini”, ibu
menjelaskan padaku.
“Lah
terus, kacanya mana bu kok enggak ada. Kacanya pecah ya bu?”, tanyaku lagi pada
ibu.
“Memangnya
ayahmu tadi tidak bilang ke kamu dari mana ayah mengganti kaca jam tanganmu?”,
ibu bertanya balik padaku.
“Enggak
bu, ayah tidak mengatakan apapun. Ayah hanya tanya Ita seneng atau tidak dengan
jam tangan ita yang kembali utuh kacanya”, aku menjawab dengan ketidaktahuanku
perihal asal kaca jam tanganku.
“Kaca
jam tangan ayahmu itu dipindah ke jam tanganmu. Kata ayah biar kamu senang dan
tidak ngambek lagi karena kamu ingin terlihat trendy seperti
teman-temanmu. Ayah sebenarnya bisa saja membelikan kamu jam tangan yang baru.
Tapi katamu kamu pokoknya ingin jam tanganmu itu utuh lagi dan enggak mau yang
lain”, ibu menjelaskan dengan gamblang padaku.
“Oh,
jadi begitu bu ceritanya”, raut mukaku berubah menjadi merasa bersalah.
Aku tak menyangka ayah sangat sayang
padaku dan rela berkorban demi kebahagianku meskipun itu mengorbankan barang
kesayangannya. Saat ini, aku hanya merasa bersalah pada ayah. Aku berjanji
dalam hati nanti sepulang ayah bekerja aku akan meminta maaf pada ayah karena
secara tidak langsung aku telah melukai hati ayah.
***
Sepulang
ayah bekerja aku menghampiri ayah di ruang makan yang tengah menikmati makanan
ringan yang dibuat oleh ibu. Aku melangkah dengan hati-hati karena merasa
paling bersalah dan aku menyadari bahwa aku terlalu egois.
“Yah,
Ita minta maaf ya. Ita enggak tau jikalau kaca jam tangan ita berasal dari jam
tangan kesayangan ayah”, aku menunduk sembari mendekati ayah.
“Iya
enggak apa-apa, yang penting jam tangan ita kembali dengan keadaan utuh kan
kacanya?”, ayah menengok ke arahku seraya memerhatikanku.
“Ita
janji yah, berusaha tidak akan nakal lagi sama ayah dan minta yang aneh-aneh
sama ayah. Ita akan belajar menjadi anak yang baik bukan mementingkan diri
sendiri”, aku menyebar janji pada ayah dan mengakui kesalahanku.
“Iya,
memang sudah seharusnya kamu belajar untuk menjadi lebih dewasa. Ayah juga
tidak ingin mempunyai anak yang manja. Karena manja itu akan membuat kamu
sengsara kelak”, ayah mengiyakan dan menasehatiku.
Sore itu menjadi saksi bahwa aku akan berusaha berubah dan memperbaiki
segala keegoisanku yang telah aku lakukan. Aku baru sadar bahwa seorang ayah
sangat menyayangi anaknya dan selalu berusaha mengukir senyuman di mata
anak-anaknya meskipun ia sendiri yang harus mengorbankan apa yang disayanginya.
Komentar
Posting Komentar