Resensi Novel Fiersa Besari 11:11

Judul: 11:11
Penulis: Fiersa Besari
Penerbit: Mediakita
Cetakan: Pertama, 2018
Tebal: vi + 302 halaman

 Source: Fiersa Besari Facebook


Kumpulan beberapa luka dalam alunan lagu
Kadang, kita tidak benar-benar melihat seseorang dengan sungguh-sungguh. Kita hanya melihat apa yang otak kita ingin lihat terhadap orang tersebut” (halaman 228) 
Membaca sebuah karya fiksi akan membuat kita sedikit mengaduk perasaan. Imajinasi juga akan terasah ketika membacanya. Apalagi yang disajika berupa kisah romatika dua lawan jenis yang saling menaruh hati. Cinta memang sangat indah untuk diulas akan tetapi terkadang perih untuk dirasakan. Berbagai perasaan akan diadu dan siapa yang kuat ia akan bisa bertahan. 
Dalam buku setebal 302 halam ini seorang Fiersa besari menyajikan beberapa cerita singkat yang bisa menggetarkan perasaan pembaca. Tema yang diangkat seputar dunia percintaan akan tetapi diselingi dengan pesan-pesan kemanusiaan. Ada juga yang berisi tentang ketidakadilan, kisah cinta yang rumit, patah hati, dan sebagainya. 
Salah satu cerita yang membuat saya terkesan ketika mambacanya berjudul “Harapan” dimana menceritakan seorang perempuan keturunan orang kaya anak dari kepala desa. Ia menaruh hati pada seorang anak pembantunya sendiri. Keduanya saling jatuh cinta dikarenakan mengikuti sebuah perkemahan yang diadakan oleh para pemuda desanya. Keduanya telah berkomitmen untuk kelak hidup bersama. Tapi tiba-tiba segalanyab erubah ketika Timur anak dari pembantu Mentari memutuskan untuk tidak kembali lagi setelah kepergian ibunya. Setelah belasan tahun tidak bertemu dengan Mentari, keduanya dipertemukan oleh Jagad yang merupakan anak dari Mentari bersama suaminya. Mereka bertemu ketika Mentari sedang sakit keras dan tidak bisa berobat karena faktor ekonomi. 
“Timur dan perempuan itu bersitatap lama, memastikan apa yang mereka lihat. Keriput memang menghiasi wajah satu sama lain. Tapi mereka tahu benar apa yang mereka lihat." (halaman 250)
Setiap bagian akhir dari 11 cerita pada buku bersampul abu-abu ini diakhiri dengan sebuah lirik lagu dimana judulnya diambil dari judul cerita. Hal ini membuat saya bertanya-tanya apakah lirik lagu yang diciptakan oleh Bung ini dilatarbelakangi oleh setiap cerita yang disajikan. Atau cerita yang ada hanya digunakan untuk melengkapi setiap lirik lagu agar tampak hidup.
Kekurangan dari buku ini dapat saya temui pada beberapa cerita yang seperti dipaksakan untuk selesai. Hal ini seakan membuat pembaca masih bertanya-tanya perihal bagaimana kelanjutan cerita. Akan tetapi, secara keseluruhan buku terbitan Mediakita ini mengisahkan cerita yang menarik dan membuat saya ingin terus membacanya hingga selesai dalam sekali duduk. Dengan gaya bahasa khas seorang Bung kata-kata diramu dengan baik agar mudah dipahami dengan baik oleh pembaca. Dalam buku kali 11:11 ini Bung tampaknya ingin memainkan imajinasi pembaca dengan menulis sebuah dongeng perihal cinta. 
Hal ini bisa dilihat dari cerita yang berjudul “I Heart Thee” yang mengisahkan seorang bidadari jatuh cinta pada manusia yang bernama Nirmala. Hingga pada suatu hari ia nekat ingin menjadi manusia lantaran ingin bersatu bersama Adabana manusia di bumi yang dikenalnya lima hari lalu. Ia sudah terlanjut sangat dicintainya. Sang bidadari rela memakan burung bersayap biru yang masih hidup untuk mewujudkan impiannya. Ia percaya bahwa dengan cerita masa kecilnya yang diceritakan oleh Ki Dungdeng. 
Waktu Nirmala kecil, Ki Dungdeng pernah mendongengkan sebuah kisah tentang lelaki yang jatuh cinta pada manusia bumi. Lelaki itu nekat memakan mentah-mentah burung bersayap biru, burung terlangka di negerinya. Konon, kata Ki Dungdeng, siapa pun yang memakan burung besayap biru, bisa menjatuhkan diri ke bumi sebagai manusia” (halaman 267)
Nirmala akhirnya pun menjadi manusia. Akan tetapi ia telat, Adibana telah menikah dengan wanita lain yang juga manusia bumi. Akhirnya pun ia harus menerima kenyataan pahit untuk hidup di bumi tanpa cinta seorang Adibana lagi, lelaki yang dicintainya. 
Dari cerita tersebut membuat kita belajar bahwa tidak semua cinta berakhir dengan Indah. Jatuh cinta itu sangat penuh dengan resiko. Jikalau berani jatuh cinta secara otomatis ya harus berani jatuh juga. Apapun yang terjadi harus siap dihadapi meskipun terkadang terasa sulit. 
Buku setebal 302 halaman ini diakhiri dengan sebuah cerita yang berjudul “Senja Bersayap” yang mengisahkan dua hati manusia yang saling jatuh cinta dan tidak bisa bersatu karena sang wanita yang bernama Sakhi mendapat hukuman suntik mati dikarenakan sebuah kasus pembunuhan. Lirik dari “Senja Bersayap” siap mengalun untuk didendangkan menjadi penutup cerita.
Senja bersayap, jingga menguning senyap. Pada hari yang hampir gelap, aku terus menimang dua hati yang kini sudah gelap"(cuplikan lirik lagu “Senja Bersayap”)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi: Midah Simanis Bergigi Emas

Resensi Buku: #YukBelajarSaham untuk pemula