Resensi Buku: Konspirasi Alam Semesta Fiersa Besari

Judul : Konspirasi Alam Semesta
Penulis : Fiersa Besari
Penerbit : Mediakita

          Menilik Kisah cinta yang berbeda
Cinta memang seringkali mampu membuat seseorang secara kilat berubah. Entah menjadi lebih baik atau buruk bergantung pada siapa ia sedang jatuh cinta. Sebenarnya cinta itu apa? Ia ada dan dapat dirasakan akan tetapi taka da bentuknya. Manusia menggambarkan cinta dengan gambar dua hati yang disatukan dengan warna merah yang menyertainya. Ia layaknya virus yang dengan mudah menginfeksi setiap orang. Jika seseorang sudah merasakan virus cinta, maka harus siap dengan konsekuensi yang ada. Karena cinta memiliki beragam ujian yang harus diselesaikan. Jika tidak maka cintamu akan berakhir buruk atau mungkin musnah. 
Ana Tidae seorang perempuan dari fakultas pertanian, anak seorang penari ternama yang telah mengharumkan negeri akan tetapi terlupakan begitu saja. Sedangkan Juang seorang jurnalis yang ingin memunculkan berita tentang Ibu Ana. Tak disangka jika keduanya saling jatuh cinta berawal dari wawancara intens keduanya. Kisah perjalanan keduanya dikisahkan dalam buku karya penulis kondang Fiersa Besari berjudul ‘Konspirasi Alam Semesta’. 
Awal pertemuan keduanya bukan dari wawancara dengan Ana sebagai narasumber. Akan tetapi Juang tak sengaja menabraknya di tengah jalan ketika Ia sedang mencari buku sastra yang langka di pasaran. Juang nampaknya jatuh cinta pada pandangan pertama. Seperti yang kerapkali terjadi pada muda-mudi saat pertama kali berjumpa. Akan tetapi Juang tidak mengajak Ana berkencan, alam mempertemukan keduanya di rumah Ana untuk menjadi narasumber berita yang ingin diliputnya. 
Hubungan keduanya berakhir di pelaminan meskipun sebelumnya keduanya harus menjalani lika-liku pasangan yang sedang menjalin asmara. Ana harus menunggu Juang berbulan-bulan dikarenakan ia menggarap proyek film dokumenter dan mengharuskannya pergi ke Papua. Selain itu tumor ganas juga membuatnya seringkali pingsan. Ia terus menunggu Juang meskipun mantan pacarnya terus meminta untuk kembali padanya. 
Buku setebal 215 halaman ini tidak hanya mengisahkan cinta antara Juang dan Ana. Akan tetapi penulis juga mengisahkan masa lalu Juang sebagai anak dari ekstapol (Tahanan Politik). Ayahnya pernah diasingkan di pulau Buru dan dianggap dari golongan ‘kiri’. Hal ini juga berimbas pada tumbuh kembang Juang dan saudaranya yang bernama Fatah dikucilkan oleh masyarakat. Dari cerita ini saya bisa merasakan betapa jahatnya masyarakat yang menghakimi anak kecil yang tak berdosa akan tetapi dicap penghianat di mata masyarakat.
Aku benci mereka Bu; mereka selalu berkata bahwa aku adalah anak penghianat, mereka yang selalu mengolok-olok Fatah. Aku cukup kuat dimaki. Tapi semisal sudah urusan keluargaku yang dihina, aku akan menyumpal mulut mereka yang lancing dengan kepalanku sendiri. Fatah dibugili lalu diikat di lapangan. Apa aku harus tinggal diam? (halaman 108). 
Menurut Saya, buku ini cukup menarik karena berbeda dengan lainnya. Kisah cinta Ana dan Juang disajikan menjadi 14 bagian yang disetiap bagian akhir diselipi dengan lirik lagu. Mungkin penulis ingin menginterpretasikan lagu dengan cerita yang sedang dikisahkan. Karena saya melihat lirik setiap lagu cukup mewaliki setiap bagian cerita. Selain itu, judul dari lirik juga diambil dari setiap judul bagian cerita. 
Buku ini juga terus seperti candu yang membuat saya untuk terus ingin membacanya guna mengetahui akhir dari cerita. Penulis telah berhasil membuat saya terkagum-kagum dengan cerita cinta yang berbeda. Cinta memang butuh banyak pengorbanan bukan hanya ucapan ‘aku cinta kamu’ saja. Cinta sangat kompleks dan tidak bisa didefinisikan dengan pasti. 
Akhir cerita cinta keduanya sangat tak diduga-duga. Saya kira keduanya akan berakhir bahagia setelah Juang menikah dengan Ana. Akan tetapi Juang yang mempunyai jiwa sosial dan petualang membuatnya meninggalkan Ana setelah beberapa waktu menikah. Juang merasa hatinya terpanggil untuk menjadi relawan di kala Gunung Sinabung sedang mengamuk dan memporak-porandakan perkampungan di sekitarnya. Juang gugur di tengah ia tengah menyisir para warga yang enggan untuk mengungsi walaupun Sinabung terus mengeluarkan asap tebal yang biasa disebut wedus gembel. Ia diterjang asap tersebut hingga merenggut nyawanya. 
Padahal di kala itu Ana tengah menantinya karena ingin mengabarkan bahwa ia sedang hamil benihnya. Tak dinanya memang, dunia kerapkali tidak sesuai dengan yang kita inginkan. Ana melahirkan buah hatinya tanpa seorang Juang yang menemaninya. Ia menamai anaknya Ilya Astrajingga. Ia berusaha untuk kuat dalam menjalani hari-harinya tanpa suami yang dicintainya. Karena kehidupan terus berlanjut, ia juga dikelilingi oleh orang-orang yang selalu menyayanginya. Papa, adik ipar, serta mertuanya pak tirto selalu menguatkan setiap langkahnya serta malaikat kecil peninggalan juang yang berada di pangkuannya. 
Ia kembali menatap buah hatinya. Kenangan tentang sang petualang akan selalu tinggal bersamanya. Kini, jejak dari segala jejak hadir di raut wajah makhluk mungil yang sedang tertidur. Bukan lagi sebagai hal yang perlu diratapi, melainkan sebagai hal yang wajib disyukuri (halaman 229)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi: Midah Simanis Bergigi Emas

Resensi Buku: #YukBelajarSaham untuk pemula