Resensi: Midah Simanis Bergigi Emas
Judul Buku: Midah Simanis Bergigi Emas
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Cetakan: Ketiga, Juli 2003
Tebal: 140 halaman
“Ah, sudara, manusia ini kenal satu sama sama lain, tapi tidak dengan dirinya sendiri. Memang tidak ada hasilnya untuk kemakmuran kita hendak mengenal diri, karena dia takkan menghasilkan kekayaan”
-Pramoedya Ananta Toer-
Midah Simanis Bergigi Emas sebuah novel ringan yang mengisahkan seorang anak dari orang yang alim taat agama dan fanatik terhadap lagu-lagu arab dengan kulit kuning, berwajah bulat, cantik, bersuara lentik, dan berhati baja dari daerah Cibatok. Ia berpetualang di jalanan dan meninggalkan rumah karena ketidakadilan pengasuhan dalam keluarga dengan berlatar tempat Djakarta era 50-an. Awalnya ia merupakan anak tunggal, namun ketika berumur lebih dari sepuluh tahun adik-adik mulai hadir dalam kehidupannya dan mencuri perhatian bapaknya hingga akhirnya ia di sepelekan oleh bapaknya. Ia berubah menjadi anak keluyuran pulang sore kadang malam. Hingga mempertemukannya dengan segerombolan pengamen jalanan yang berhasil memikatnya dengan lagu keroncong kesukaannya. Tokoh utama bernama cukup singkat, Midah, menjadi pujaan para lelaki karena parasnya yang cantik dan manis hingga membuat banyak lelaki ingin melamarnya. Namun, bapaknya hanya ingin menantu yang kaya harta dan berasal dari desa kelahirannya Cibatok. Midah pun dinikahkan dengan Hadji Terbus laki-laki beralamat cibatok, kaya harta sesuai keinginan bapaknya, Hadji Abdul. Setelah tiga bulan menjalani biduk pernikahan midah minggat dari rumah lakinya dengan membawa semua uang dari rumah lakinya karena kecewa mengetahui kenyataan lakinya beristri banyak. Simanis pujaan banyak pria itu lari menjelajahi ganasnya jalanan Djakarta bergabung dengan kelompok pengamen keroncong yang digandrunginya dalam keadaan menggembol seonggok daging hidup dalam perutnya.
Bersama kelompok keroncong beranggotakan orang-orang dewasa dengan Rois sebagai ketua kelompok Midah berkelana dari rumah-rumah dan resto-resto bernyanyi dengan suara lentik menggait setiap pendengar untuk sudi menyedekahkan uangnya untuk menyumpalkan mulut mereka dengan sesuap nasi. Ada nini si bergigi emas satu-satunya wanita dalam kelompok itu dan mimin kurus pemukul gendang dari kelompok pengamen tersebut. Midah sendiri juga memasang gigi emas pada gigi taringnya untuk mengimbangi kekuasaan Nini.
Pada suatu hari midah melahirkan di rumah bersalin dengan diperlakukan tidak adil oleh bidan. Suatu siang setelah melahirkan ia mendapati tiga ekor ulat pada kangkung di piring yang disuguhkan untuknya. Padahal saat itu ia sangat lapar karena telah melahirkan sebelumnya. Sungguh, fenomena yang tak mengenakkan di hati. Ketika di tanya tentang siapa nama suaminya dan dimana tinggalnya midah tak menjawab. Anaknya juga masih belum dinamainya.
“Nyonya, tempat ini akan dipergunakan orang lain, suatu hari seorang bidan berkata padanya.
Aku mesti pergi dari sini? Ya
Kami kekurangan tempat, nyonya”
Percakapan tersebut menunjukkan rasa yang tidak humanis terhadap seorang perempuan yang baru saja melahirkan diusir secara paksa dengan keadaan lemah dan tubuh gemetar. Tak hanya itu saja, anaknya yang masih bayi ditelanjangi bulat-bulat dan pihak rumah bersalin beralibi pakaian adalah milik rumah sakit. Sungguh suatu perbuatan yang tak humanistis. Fenomena ini menujukkan bahwa orang-orang anti humanis masih bertebaran di bumi manusia ini. Humanisme merupakan aliran yamg bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik.
Suatu hari ketika ia sedang bernyanyi di sebuah depot ia ditawari untuk menyanyi di radio oleh seorang polisi lalulintas yang telah dikenalnya sebelumnya ketika ia sedang bernyanyi bersama gerombolan pengamen keroncong itu. Midah pun jatuh cinta pada polisi sekaligus pemusik, ahmad namanya. Hingga akhirnya ia menyerahkan segala-galanya untuk ahmad termasuk kehormatan demi untuk orang yang dicintai dan menghasilkan seonggok daging hidup bercokol di Rahim midah. Ahmad tidak mau mengakui anaknya namun midah tak bergeming. Ia tetap ingin membesarkan daging hidup itu karena ia adalah calon anak dari orang yang dicintainya.
Ketika midah sedang pergi bekerja, nyonya abdul mengambil cucunya setelah Riah bekas pembantu midah mengabarkan bahwa midah telah melahirkan anak laki-laki. Rodjali nama yang disematkan oleh ahmad untuk bayi midah dibawa oleh nyonya abdul pulang ke rumah untuk memancing midah pulang. Akhirnya midah kembali ke pangkuan orangtuanya dalam keadaan mengandung anak kedua. Namun tak lama di rumah, ia pergi lagi untuk kedua kalinya ke jalanan untuk bernyanyi kembali karena tak ingin orangtuanya menanggung malu dengan hadirnya cucu kedua dari hubungan gelap.
“Sejarah Midah Si Manis Bergigi Emas mulailah dari sini sebagai penyanyi. Sejarah midah simanis bergigi emas telah lenyap, sebagai wanita.”
Kalimat tersebut menjadi akhir dari novel yang di tulis oleh pramoedya dalam kisah Midah Simanis Bergigi Emas ini.
Bermula dari ketidakadilan dalam keluarga memulai kisah yang ganas dalam kehidupan jalanan. Perempuan yang kalah moral karena tak mampu mempertahankan kehormatannya tetapi ia tetap bersikap santun pada orangtua melingkupi novel garapan pramoedya. Bapak yang berpaham fanatisme dan mengharam-haramkan keroncong menggambarkan kerdilnya paradigma orang yang kurang luas pengetahuannya. Kurangnya sikap humanisme pada sesama kiranya juga ingin disampaikan oleh penulis dalam novel ini. Ketidakadilan membuat manusia berulah untuk mendapatkan perhatian yang direnggut oleh orang lain. Meskipun perempuan seorang midah tetap berusaha bersikap tangguh di jalanan walaupun berakhir tergilisnya moral di jalanan.
Find me on instagram: miftahul.jannahs
Terima kasih sudah mampir di blog.ku, kamu mau aku mereview buku apalagi?
Komentar
Posting Komentar