Gawai hanya sebuah media bukan pengendali pemiliknya
Kereta api yang baru saja datang di stasiun Krian. Para penumpang yang ingin naik kereta berusaha untuk mencari tempat duduk yang tertera dikarcis di genggamannya. Berbagai aktivitas penumpang dapat amati ketika berada di kereta. Ada yang asyik mengobrol dan curhat sesama penumpang yang baru dikenal, mendengarkan musik, dan yang menarik adalah melihat segerombolan remaja yang berduduk saling berhadapan namun mereka tidak saling berbicara satu sama lain. Yang ada hanya kebisuan.
Gawai pintar dimainkan dengan lihai hingga tak memperdulikan keadaan sekitar. Nampak seorang ibu yang sedang hamil besar menenteng koper bermaksud untuk menaruh koper di tempat penyimpanan barang yang berada tepat di atas tempat duduk penumpang. Mereka sama sekali tidak menolong sedikitpun. Mereka hanya menoleh sedikit dan kemudian mulai asyik lagi dengan gawai pintarnya. Sontak, dengan sigap seorang laki-laki paruh baya membantu ibu tersebut dan menggeleng-geleng terheran-heran dengan kelakuan para remaja tersebut.
Seseorang yang sudah memegang gawai pintar seperti berubah menjadi makhluk yang buta dengan keadaan di sekitarnya yang membutuhkan bantuan. Mereka sudah terlalu asyik sendiri dengan gawai di genggamannya. Mereka seperti menjadikan gawai sebagai jimat yang harus dimiliki. Jimat yang menjadi sahabatnya dimanapun ia berada.
Pemandangan seseorang yang tertawa terbahak-bahak karena melihat sesuatu yang lucu dari gawainya juga menjadi tontonan yang biasa ditemui ketika berada di kereta sedang melaju menuju stasiun selanjutnya. Mereka tak memerdulikan temannya yang sedang tidur disebelahnya.
Perjalanan menggunakan kereta kerapkali membuat penumpang mudah bosan dan ingin segera tidur saja untuk mengusir kebosanan menunggu waktu giliran stasiun yang dituju diumumkan oleh speaker kereta yang selalu memekik ketika akan tiba di stasiun pemberhentian.
Gawai sebagai pengusir rasa bosan dan kantuk
Mengeluarkan gawai dari saku menjadi pilihan bagi mereka yang tidak merasakan kantuk dan bosan. Gawai langsung dimainkan dengan jari-jari yang sudah terlatih. Media sosial menjadi andalan untuk mengungkapkan tempat dimana saat ini kaki berpijak, membuat status dengan emoji yang berbagai macam, atau sekadar ber-selfie untuk mengabarkan diri saat ini. Penumpang lain yang berada disebelahnya hanya bergumam melihat kelakuan penumpang yang seperti itu.
Memilih untuk bermain dengan gawai pintar menjadi pemandangan yang lumrah ditemui ketika berada di kereta daripada memilih untuk berbincang-bincang dengan orang yang berada disebelahnya. Padahal, sebagai makhluk sosial mengenal orang-orang baru akan menambah jaringan dan menambah pengetahuan. Bersikap ramah pada penumpang lain seperti telah digadaikan dengan gawai yang selalu siap menemani si induknya. Tolong-menolong juga dienyahkan dengan kehadiran gawai yang super canggih hingga dapat mengubah sikap pemiliknya.
Fenomena tersebut tidak hanya dapat ditemui di kereta. Pada setiap sudut tempat umum baik remaja, orangtua, dan anak-anak sekalipun mencicipi indahnya berselancar dengan gawai. Entahlah, gawai seperti mempunyai sihir hiptonis yang begitu memikat dan membuat setiap pemakainya seakan patuh dan tak mau berkelit sekalipun dari layarnya.
Apakah gawai membuat seseorang menjadi egois dan tak mau peduli dengan sekitarnya? Tergantung, setiap orang tentunya memiliki tingkat kedewasaan yang berbeda-beda dalam mengendalikan gawainya. Apapun yang ada di dunia ini pastinya memiliki dampak positif dan juga negatif. Manusialah yang harus belajar mengendalikan diri bukan gawai yang disebut-sebut ponsel pintar yang mengendalikan pemakainya.
Kendali gawai ada di tangan pemiliknya
Memang kita tak bisa berkilah kalau gawai hampir menjadi bagian dari hidup yang harus dimiliki. Pemiliknya dapat menggunakannya sebagai lahan bisnis, mengulik berbagai informasi secara cepat, atau hanya sekadar untuk menonton hiburan semata demi mengusir penat.
Zaman memang telah berubah. Kita yang dulu untuk bertemu harus menempuh berkilo-kilo jarak untuk bersua dengan teman atau kerabat kini mereka serasa dekat hanya lima langkah dari rumah. Budaya mengucapkan kebahagiaan seperti selamat idul fitri, tahun baru, dan sebagainya berganti dengan mengetikkan beberapa kata di kolom pesan dan tak perlu untuk jauh-jauh datang ke rumah yang bersangkutan. Itulah zaman now. Manusia semakin dimanja hingga mabuk kepayang.
Kadangkala gawai yang tak tahu diri merenggut pembicaraan dengan lawan bicara. Ketika asyik bercerita tiba-tiba gawai berdering dalam sekejap pembicaraan buyar dan berganti menjadi hening. Layar-layar gawai seakan-akan memiliki daya tarik tersendiri untuk diajak bergurau dibandingkan bersenda gurau dengan manusia yang ada disebelahnya.
Bahkan gawai dengan segala macam fitur media sosial yang dimiliki mampu membuat manusia berkata kasar tanpa memikirkan rasa kemanusiaan. Secepat itukah gawai merubah hati manusia menjadi lebih keras tanpa memandang dari berbagai sisi? Ah, gawai menjadi benda yang dipuja-puja oleh pemiliknya. Sedetik pun tak mau lepas dari genggaman.
Zaman sekarang orang yang tak memiliki gawai pintar katanya jadul dan ketinggalan jaman. Informasi-informasi yang secepat kilat tak akan didapatkan apabila tak memiliki gawai pintar. Bahkan mungkin seseorang yang tak memiliki gawai termasuk orang yang Akhirnya berita-berita palsu yang tak dapat disaring langsung diserap tanpa bertanya pada yang lebih paham menimbulkan kegelisahan. Bahkan ada yang menimbulkan perpecahan.
Kebenaran pun seakan menjadi buram. Berita palsu carut marut dengan berita yang benar. Benar dianggap salah sedangkan salah dianggap benar. Memang gawai memiliki kekuatan super yang tak tertandingi. Sebenarnya tidak ada yang salah dari sebuah gawai. Ia hanyalah benda kotak yang kecil dengan berat beberapa gram dan tidak akan bisa beroperasi jika tidak dimainkan dengan baik oleh manusia. Gawai hanyalah sebuah media untuk mempermudah manusia dalam menjalani beberapa kegiatannya seperti berkomunikasi, belanja online, dan berjejaring dengan banyak orang yang berasal dari berbagai tempat.
Kendali gawai seharusnya ada di tangan pemiliknya. Bukan malah kita yang dikendalikan oleh gawai dengan memakainya secara terus menerus. Keberadaannya memang sangat penting untuk berbagai aspek kehidupan manusia. Hal seperti ini juga tidak dapat dihindari lagi mengingat dunia tengah memasuki era teknologi. Bijak menggunakan gawai diawali dari kesadaran pemiliknya bahwa gawai hanya sebuah media. Bukan sebuah benda yang dengan mudah dapat mengubah karakter manusia sebagai makhluk sosial menjadi seorang yang apatis. Padahal gawai buatan manusia, tapi gawai hampir mengendalikan manusia itu sendiri.
Tulisan ini pernah dimuat di Kawaca.com
Komentar
Posting Komentar