Cerpen: Pedagang Asongan dan sebuah perdebatan


    Hujan masih terus bergerilya merayakan kekuasaanya untuk membasahi bumi. Memadamkan api yang menyulut dalam jiwa-jiwa yang sedang dilanda kobaran amarah. Aroma tanah yang khas di kala hujan turun memenuhi isi ruang tamu di mana aku duduk di sebuah kursi persidangan dengan berhakimkan seorang pria paruh baya duduk di depanku dengan kumisnya yang lebat dan wajah yang buram penuh amarah.
    Aku hanya duduk termenung menunggu bibir ayah untuk berucap dan menghujani pernyataan-pernyataan yang membuat muak dan bingung. Ia memaksaku untuk menuruti keinginannya yaitu memasuki dunia perkuliahan dan perhelatannya. Tak ada secangkir kopi maupun teh di antara perbincangan kami. Aku tak pernah duduk berdua bersama ayah dan membicarakan hal serius sebelumnya. Sedangkan diluar sana hujan masih terus mengguyur tak menghiraukanku yang sedang dilanda bingung, cemas, dan marah ini.
“Kamu harus kuliah, apapun alasanmu yang tak mau kuliah. Ayah akan tetap mengirimmu ke Yogyakarta untuk kuliah”, serunya dengan nada agak meninggi.
“Tapi aku ingin langsung bekerja ayah, aku ingin punya penghasilan sendiri dari hasil keringatku. Aku iri dengan teman-temanku yang dapat menikmati penghasilan dan jalan-jalan dengan uangnya sendiri!”, otot-otot ditenggorokanku mulai menjalari leherku dan bibir mungilku dengan berani berbicara dengan nada tak sopan pada ayah yang di depanku terus melototiku untuk menuruti keinginannya.
“Kamu masih terlalu kecil untuk bekerja, kamu tidak tahu seperti apa dunia kerja itu. Keras! Di zaman sekarang ijazah SMA sama halnya ijazah SD an, kuliah akan membuatmu membuka cakrawalamu lebih luas”, terang ayah padaku dengan nada sedikit lembut dengan raut muka yang hangat.
       Aku masih terdiam. Berpikir harus bagaimanakah diri ini selanjutnya? Apakah kuliah menuruti kemauan ayah?atau bekerja di pabrik di sekitar rumahku untuk membantu ayah?rasa marah, bingung masih bergemelut dipikiranku.Sementara dapat kuamati ayah dari rona wajahnya yang mulai membentuk garis-garis penuaan merasa kecewa dengan keputusanku untuk tak melanjutkan studi. Mungkin ia merasa sedih karna tak mampu membimbing anaknya untuk lebih baik.
      Hujan mulai silih berganti dengan rintik-rintik gerimis. Mataku menerawang keluar jendela yang terpasang di ruang tamu. Aku mendapati  seorang pedagang asongan tua. Bajunya berwarna biru muda terlihat lusuh tidak disetrika sedangkan celana hitam yang dikenakan warnanya mulai memudar. Ia basah kuyup, rambut yang berwarna putih juga terlihat basah. Ku amati ia sedang berhenti di pelataran rumah. Mungkin ia ingin istirahat sebentar karena kedinginan disebabkan hujan tadi. Ayah meninggalkanku begitu saja di tengah ia sedang mengadiliku dengan melontarkan beberapa hujatan yang sedikit tapi mengena di hati dan aku tak memperdulikan perkataan ayah yang baru saja terjadi denganku.
     Aku hanya mengamati pak tua itu dari jauh. Tapi hatiku perlahan mulai terketuk untuk mendekati pak tua pedagang asongan itu. Aku melangkah gontai dengan pikiran semrawut tak karuan.
“Jualan apa ini pak?”, tanyaku seraya mengamati setiap lekuk wajah pak tua itu. gambaran lingkaran hitam di bawah mata tampak begitu jelas dan wajahnya yang mulai bergelambir diwarnai titik hitam membuat hatiku tersentuh melihatnya.
“Roti goreng nduk. Monggo harganya 1000 saja”, ia mengelapi rambut dan wajahnya dengan sebuah handuk kecil yang usang sembari membuka sebuah kotak bening dimana roti goreng yang masih hangat siap untuk di santap lidah.
“Saya beli 5 ya pak, ini uangnya”, seruku dengan menyodorkan uang kertas berwarna kuning bergambar Dr. K.H Idham Chalid.
      Ia mengambilkan lima buah roti goreng dan memasukkannya dalam sebuah plastik putih dan mengikatnya rapat agar tak terkena rintik-rintik  hujan gerimis yang berhembus bersama angin. Sesekali ia batuk-batuk dan menutupinya dengan tangan kiri.
“Kelas berapa nduk sampeyan?”, ia melempar tanya padaku secara tiba-tiba.
“Sudah lulus pak”, jawabku singkat. Aku tak ingin mengingat dan membahas topik perdebatan dengan ayahku tadi sejenak.
“Lebih baik kuliah saja nduk kalo mampu. Di zaman sekarang cari pekerjaan susah. Minimal lulusannya kalo tidak D3 ya S1. Yah, meskipun seperti saya ini hanya jualan roti goreng Alhamdulillah anak saya bisa kuliah dengan biaya bantuan dari pemerintah untuk orang kurang mampu seperti saya ini”, perkataannya bak petir yang menyambarku lagi dan mengetuk pintu hati dengan keras. Sedang, aku bergeming dan diam seribu bahasa. Ia mengeluarkan handuk kecil usangnya lagi, tapi kali ini untuk mengelap tangannya yang kecipratan gerimis.
“Setiap orang tua pasti pingin anaknya lebih baik dari dirinya. Saya tidak ingin anak saya sengsara seperti saya yang hanya berjualan gorengan”, lanjutnya dengan nada lembut dan mengulur senyum padaku.
“Iya pak, terima kasih untuk masukannya”, ucapku dengan nada setengah gagu dan terbata-bata. Aku hanya berucap sekenaku. Pikiranku bertambah semrawut dan mulai meraba-raba setiap perkataan yang dilontarkan bapak tua penjual gorengan ini.
       Kemudian percakapan kami diakhiri dengan kepamitannya untuk berjualan kembali dan berterima kasih telah membolehkannya untuk berteduh. Lalu ia meminta diriku untuk turut serta mendoakannya agar roti gorengnya cepat habis. Aku pun mengamininya dan memperhatikan beliau yang mulai mengayuh sepeda ontel tuanya disertai mengucap basmalah. Aku terus memperhatikan bapak tua itu hingga tubuhnya larut bersama rintik-rintik gerimis yang masih mengguyur pelataran rumahku.
      Kedatangan pak tua tadi bagiku layaknya seorang malaikat yang datang memberi sebuah pesan tersurat padaku untuk melanjutkan studiku. Aku harus merubah mindsetku yang awalnya berorientasi untuk segera bekerja membantu ayah berganti untuk studi lanjut dengan kuliah. Toh, aku bisa menyambi kerja sambil kuliah. Atau membuat kerajinan-kerajinan unik kemudian dijual. Ayahku mungkin saat ini hanya menginginkan aku untuk kuliah agar aku dapat belajar tentang dunia luar sebelum aku benar-benar memasukinya. Toh, kuliah itu juga demi kebaikanku sendiri.
“Ana, mau kuliah yah. Ana ingin jadi seorang sarjana yang dapat membantu orang lain yang kesusahan”, ucapku pada ayah yang sedang duduk di sebuah kursi kayu coklat di depan rumah dengan membaca koran.
“Baiklah, ayah akan membantu mengurus proses pendaftarannya. Besok kita akan pergi ke Yogyakarta”, Rona ayah yang semula serius membaca koran menjadi sumringah dan girang. Tiba-tiba ia memelukku dan mengecup halus keningku.
       Kala itu, sebuah perdebatan antara aku dan ayah dimulai dengan bersaksikan hujan dan aroma khas tanah yang menyeruak memenuhi ruangan. Yah, perdebatan yang sebelumnya tak pernah aku lakukan dengan seorang pria yang sangat aku segani dan aku cintai pertama kali sebelum cinta yang lain mendatangiku. Perdebatan sengit yang ditengahi oleh semorang pedagang asongan tua yang mampir sekejap memberiku petuah indah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi: Midah Simanis Bergigi Emas

Resensi Buku: #YukBelajarSaham untuk pemula