Resensi Buku Laki-Laki yang Tak Berhenti Menangis Karya Rusdi Mathari
Dokumen Pribadi
Judul Buku : Laki-Laki Yang Tak Berhenti Menangis (Kumpulan Kisah Islami Penyejuk Hati)
Penulis : Rusdi Mathari
Penerbit : Buku Mojok
Cetakan : Januari 2019
Tebal : viii + 115 halaman
ISBN : 978-602-1318-80-5
Mengenal Islam dari Laki-laki Yang Tak Berhenti Menangis
Menghargai keberagaman sangatlah penting apalagi kita berada di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kaya akan agama, bahasa, ras, suku, dan kekayaan alam lainnya yang melimpah. Sesuai dengan semboyan kita Bhineka Tunggal Ika berbeda-beda tapi tetap satu jua. Menghormati pemeluk agama lain menjadi salah satu kewajiban seseorang yang memahami akan pentingnya menjaga keutuhan negara dan merawat Indonesia.
Terlalu fanatik terhadap agama yang kita anut hingga berujung saling mengkafirkan bukanlah termasuk ciri dari agama Islam. Karena Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin. Maka sudah seharusnya sebagai umat muslim bersikap santun dan saling menghormati orang lain menjadi suatu keharusan.
Dalam buku yang ditulis oleh Rusdi Mathari atau yang biasa disapa dengan Cak Rusdi ini menghadirkan cerita-cerita tentang agama Islam yang teduh dan lembut. Bukan Islam yang seringkali digembor-gemborkan dengan nada yang keras dan terkesan mengerikan. Hingga membuat agama Islam terkesan menyeramkan dan tidak menghargai perbedaan.
Dalam buku terbitan Mojok ini memuat kisah-kisah Islami yang menyejukkan. Kisah-kisah tersebut tak lupa dibalut pesan-pesan humanisme yang kerapkali dibahas oleh Cak Rusdi dalam beberapa bukunya termasuk buku ini. Setiap cerita yang disajikan mengandung hikmah yang mendalam dan dapat menjadi refleksi diri. Dengan memakai bahasa yang tidak menggurui cak Rusdi berusaha untuk menuturkan bahwa untuk menjalani kehidupan beragama sebaiknya santai dan jangan mudah mengkafirkan kaum yang tidak satu golongan dengan kita.
"Saling mengkafirkan dan sesat menyesatkan lalu seperti ludah yang dikeluarkan daengan perasaan jijik seolah hanya mereka yang paham ilmu agama dan karena itu layak menjadi penghuni surga. Meskipun sesungguhnya, hati mereka sudah lebih dulu terbakar oleh kemarahan dan kesumat." (halaman 20)
Terkadang seseorang yang merasa tidak sependapat dengan pendapat orang lain akan mudah mengkafirkannya karena ia menganggap apa yang dianutnya merasa paling benar dan surga seakan dapat direngkuhnya dengan mudah. Padahal Tuhan tidak pernah memandang manusia dari segi hal tersebut. Karena Tuhan menganggap setiap manusia itu sama dengan lainnya. Yang membedakan hanyalah tingkat ketaqwaannya.
Sebagai seorang manusia biasa kita tidak bisa melihat kedalaman hati dari seseorang. Belum tentu kebiasaan yang biasa kita lihat dalam kehidupan sehari-harinya dapat ditarik kesimpulan dengan mudah tanpa mengetahuinya lebih dalam.
Beragama tidak lantas membuat seseorang bisa semena-mena pada pemeluk agama lainnya. Beragama seharusnya membuat seseorang lebih paham akan keberagaman. Cak Rusdi juga menuturkan bahwa masalah keyakinan adalah persoalan pribadi. Menjaga hubungan baik dengan sesama manusia adalah suatu hal yang harus dilakukan tanpa memandang apapun agamanya.
Melalui buku ini terdapat salah satu tulisan Cak Rusdi seakan ingin berpamitan pada pembaca dan orang-orang yang mengenalnya sebelum akhirnya beliau meninggal dunia. Beliau bercerita singkat tentang penyakit yang dialaminya dan Selain itu, beliau juga meminta maaf pada orang-orang yang mengenalnya dan pernah menghubunginya namun tidak terbalas.
Setiap kisah yang disajikan dalam buku ini sangatlah relevan dengan keadaan masyarakat di zaman sekarang. Dimana marak body shaming, saling menghina orang lain, mengkafirkan, dan lain sebagainya tidaklah sulit ditemukan. Buku ini seakan oase ditengah padang pasir yang kering dan melegakan tenggorokan pembacanya yang kering akan Islam menyejukkan.
Fitnah yang kerapkali menjadi salah satu masalah di masyarakat juga menjadi bahasan wartawan senior ini dalam kisah berjudul ‘Fitnah’. Kisah tersebut menceritakan tentang seorang pemuda yang meminta maaf pada Abu Nawas karena telah memfitnahnya. Ia mensyaratkan dua syarat pada pemuda tersebut jika ingin meminta maaf padanya. Walaupun sebenarnya beliau telah memaafkan pemuda tersebut.
Abu Nawas memerintah pemuda tersebut untuk mengoyakkan dan mengeluarkan isi bantal kemudian memasukkannya kembali. Kemudian beliau juga memerintah pemuda tersebut untuk memasukkan kembali isi bantal yang berterbangan. Akan tetapi ternyata pemuda tersebut tidak mampu mengembalikan isi bantal seperti semula.
“Wahai anak muda, begitulah fitnah bekerja. Kamu tak akan mampu mengembalikan muru’ah orang yang kau fitnah seperti sediakala. Persis seperti isis bantal yang kau koyak lalu kau harus memasukkannya kembali ke dalam bantal. Biar beribu-ribu kali engkau meminta maaf, beribu-ribu kali pula aku memaafkanmu, semua itu tak akan dapat mengembalikan muru’ah-ku yang telah kau renggut dengan fitnahmu. (halaman 2)
Tulisan ini pernah dimuat di iqra.id kamu bisa membacanya di sini
Komentar
Posting Komentar