Review Buku: Perempuan yang Memesan Takdir
Judul : Perempuan yang memesan takdir
Penulis : W. Sanavero
Penerbit : Buku Mojok
Cetakan : Pertama, Februari 2018
Tebal : vi + 102 halaman
ISBN : 978-602-1318-65-2
Berbicara perihal perempuan memang sangat kompleks. Hingga saat ini pun diskusi seputar keperempuan masih perlu diadakan untuk memperjuangkan hak-haknya. Wacana perempuan sebagai ‘konco wingking’ masih terus melekat pada ranah lingkungan patriarkal. Berbagai tudingan dan stigma terhadap perempuan pun masih kerap ditemui. Hal ini membuat perempuan masih belum bisa bergerak bebas untuk menjalani takdirnya.
Sejak melihat judulnya saya tertarik untuk mengetahui isi dari buku. Berbagai hal yang berbau tentang perempuan selalu menjadi hal menarik untuk dibaca. Dengan sampul seorang perempuan yang sedang membawa bunga dan berlatar belakang kuning, buku ini semakin semakin membuat saya segera ingin membaca dan mengulik isi yang disajikan ole penulis.
Aku ingin keperawananku kembali, pertama. Selebihnya aku ingin menjadi ibu, kedua. Jika suatu saat ada yang bertanya mengapa aku ingin demikian, maka biarkan saja pertanyaan itu tenggelam. Jangan dijawab. (halaman 13)
Kalimat tersebut merupakan petikan dari prosa dengan judul Bunga Aster. Seorang Daisy dan Lanang berbincang-bincang seputar status dari perempuan. Para pemuda di desanya lebih suka menikah dengan janda daripada dengan seorang wanita yang telah hilang keperawanannya sebelum menikah.
Tampaknya status perawan yang dilekatkan pada perempuan seperti sebuah harta yang paling berharga dan patut dipertimbangkan bagi seorang lelaki yang ingin menikah. Sedangkan menikahi wanita yang sudah tidak perawan barangkali menjadi aib bagi lelaki. Maka dari itu, menikah dengan janda akan lebih baik. Mengapa hal seperti ini masih terus dipertanyakan. Padahal bahagia sebuah pasangan tidak bisa ditentukan dari perawan atau tidak pasangannya. Bukankah hal terpenting dari sebuah pernikahan adalah kebahagiaan dan ketentraman. Tentu persepsi seperti ini perlu untuk diperbaiki.
Keperawananku tidak akan pernah bisa kembali, tapi meskipun begitu aku akan tetap jadi ibu. (halaman 16). Kalimat tersebut menjadi akhir dari prosa kedua dari buku setebal 102 halaman ini.
Seorang W. Sanavero melalui 16 prosa yang ditulis melalui buku terbitan Buku Mojok ini membuat saya mulai berpikir untuk menerka-nerka arti dari setiap makna tulisan. Berhubung saya bukanlah seorang yang gemar membaca buku-buku sastra. Akan tetapi saya sangat menyukai tulisan-tulisan sastra. Meksipun terkadang perlu membaca berulang-ulang untuk menyesap makna yang disampaikan oleh penulis. Buku ini merupakan buku pertama dengan genre sastra dan berbicara seputar perempuan yang pernah saya baca.
Di sini saya tidak akan mengulas semua prosa yang ada di dalam buku ini. Berhubung keterbatasan ruang, waktu, dan pengetahun membaca yang masih sangat awam terhadap dunia sastra. Mengulas buku ini pun memerlukan waktu yang lumayan panjang agar layak untuk dibaca banyak orang.
Setelah Bunga Aster, Cerita Bersajak menjadi prosa selanjutnya juga berbicara seputar perempuan. Pada judul ini terdapat beberapa bagian. Bagian pertama diberi judul Wajah Perempuan Tanpa Napas. Kemudian bagian kedua berjudul Perempuan yang Mencari Dan Menemukan. Lalu, bagian akhir Mayat Perempuan yang Berparas menjadi penutup prosa terbitan Buku Mojok ini.
Adalah aku, wajahku. Salah disalahkan, atau dibuat salah? Mana yang benar? Barangkali pertanyaan semacam ini juga sebuah kesalahan. Lahir di atas kehendak Tuhan, bernapas di atas kehendak aturan-aturan perempuan; yang dibuat-buat. Bahkan, aku tidak memiliki hak atas diriku sendiri untuk menentukan bernyawa atau tidak esok hari. (halaman 19)
Tulisan ini pernah dimuat di Kawaca.com
Penulis : W. Sanavero
Penerbit : Buku Mojok
Cetakan : Pertama, Februari 2018
Tebal : vi + 102 halaman
ISBN : 978-602-1318-65-2
Dokumen Pribadi |
Berbicara perihal perempuan memang sangat kompleks. Hingga saat ini pun diskusi seputar keperempuan masih perlu diadakan untuk memperjuangkan hak-haknya. Wacana perempuan sebagai ‘konco wingking’ masih terus melekat pada ranah lingkungan patriarkal. Berbagai tudingan dan stigma terhadap perempuan pun masih kerap ditemui. Hal ini membuat perempuan masih belum bisa bergerak bebas untuk menjalani takdirnya.
Sejak melihat judulnya saya tertarik untuk mengetahui isi dari buku. Berbagai hal yang berbau tentang perempuan selalu menjadi hal menarik untuk dibaca. Dengan sampul seorang perempuan yang sedang membawa bunga dan berlatar belakang kuning, buku ini semakin semakin membuat saya segera ingin membaca dan mengulik isi yang disajikan ole penulis.
Aku ingin keperawananku kembali, pertama. Selebihnya aku ingin menjadi ibu, kedua. Jika suatu saat ada yang bertanya mengapa aku ingin demikian, maka biarkan saja pertanyaan itu tenggelam. Jangan dijawab. (halaman 13)
Kalimat tersebut merupakan petikan dari prosa dengan judul Bunga Aster. Seorang Daisy dan Lanang berbincang-bincang seputar status dari perempuan. Para pemuda di desanya lebih suka menikah dengan janda daripada dengan seorang wanita yang telah hilang keperawanannya sebelum menikah.
Tampaknya status perawan yang dilekatkan pada perempuan seperti sebuah harta yang paling berharga dan patut dipertimbangkan bagi seorang lelaki yang ingin menikah. Sedangkan menikahi wanita yang sudah tidak perawan barangkali menjadi aib bagi lelaki. Maka dari itu, menikah dengan janda akan lebih baik. Mengapa hal seperti ini masih terus dipertanyakan. Padahal bahagia sebuah pasangan tidak bisa ditentukan dari perawan atau tidak pasangannya. Bukankah hal terpenting dari sebuah pernikahan adalah kebahagiaan dan ketentraman. Tentu persepsi seperti ini perlu untuk diperbaiki.
Keperawananku tidak akan pernah bisa kembali, tapi meskipun begitu aku akan tetap jadi ibu. (halaman 16). Kalimat tersebut menjadi akhir dari prosa kedua dari buku setebal 102 halaman ini.
Seorang W. Sanavero melalui 16 prosa yang ditulis melalui buku terbitan Buku Mojok ini membuat saya mulai berpikir untuk menerka-nerka arti dari setiap makna tulisan. Berhubung saya bukanlah seorang yang gemar membaca buku-buku sastra. Akan tetapi saya sangat menyukai tulisan-tulisan sastra. Meksipun terkadang perlu membaca berulang-ulang untuk menyesap makna yang disampaikan oleh penulis. Buku ini merupakan buku pertama dengan genre sastra dan berbicara seputar perempuan yang pernah saya baca.
Di sini saya tidak akan mengulas semua prosa yang ada di dalam buku ini. Berhubung keterbatasan ruang, waktu, dan pengetahun membaca yang masih sangat awam terhadap dunia sastra. Mengulas buku ini pun memerlukan waktu yang lumayan panjang agar layak untuk dibaca banyak orang.
Setelah Bunga Aster, Cerita Bersajak menjadi prosa selanjutnya juga berbicara seputar perempuan. Pada judul ini terdapat beberapa bagian. Bagian pertama diberi judul Wajah Perempuan Tanpa Napas. Kemudian bagian kedua berjudul Perempuan yang Mencari Dan Menemukan. Lalu, bagian akhir Mayat Perempuan yang Berparas menjadi penutup prosa terbitan Buku Mojok ini.
Adalah aku, wajahku. Salah disalahkan, atau dibuat salah? Mana yang benar? Barangkali pertanyaan semacam ini juga sebuah kesalahan. Lahir di atas kehendak Tuhan, bernapas di atas kehendak aturan-aturan perempuan; yang dibuat-buat. Bahkan, aku tidak memiliki hak atas diriku sendiri untuk menentukan bernyawa atau tidak esok hari. (halaman 19)
Tulisan ini pernah dimuat di Kawaca.com
Komentar
Posting Komentar