Resensi buku: Menjadi Simpul Menggerakkan Asa
Judul Buku :Menjadi Simpul Menggerakkan Asa
Penulis : Aditia Purnomo
Penerbit : EA Books
Cetakan : Pertama, Maret 2019
Tebal : xii + 220 halaman
ISBN : 978-602-51695-7-1
Terus bergerak menjadi simpul untuk menebar kebaikan
Buku berjudul Menjadi Simpul Menggerakkan Asa merupakan esai ditulis berisi gagasan yang berusaha dilontarkan oleh penulis untuk dibaca dan dipahami oleh para pembaca dengan baik. Menyajikan esai dengan gaya bahasa yang renyah dan mudah untuk ditelan mungkin untuk saat ini telah banyak ditemui.
Hal ini bisa didapati pada kumpulan esai yang ditulis oleh Aditia Purnomo. Esai-esai yang disajikan sangatlah mudah untuk dipahami oleh siapapun. Bahasanya yang lugas dan sedikit melucu membuat serasa bukan sedang membaca esai. Akan tetapi layaknya mendengarkan curhatan teman yang pikirannya dilanda berbagai permasalahan pelik.
Terdiri dari 4 bagian simpul yaitu simpul mati, hidup, jangkar, dan simpul pangkal keempat bagian tersebut berisi beberapa esai dengan topik yang beragam. Mulai dari berbicara soal pemerintahan, bola, membicarakan seorang Eka Kurniawan, perihal hoaks dan sebagainya. dari kumpulan esai yang ada di buku ini sedikit dapat menunjukkan bahwa penulis adalah seorang yang idealis dan kritis terhadap apapun meskipun itu hanya hal kecil.
Untuk mengawali kumpulan esainya ia memberikan judul “Lima Puluh Tahun” pada bagian simpul mati. yang menjelaskan sedikit tentang keluarganya. Kakeknya yang pernah ditangkap dan dipenjara di Jepara sewaktu ibunya dilahirkan oleh neneknya. Ia juga menceritakan perihal pembunuhan massal yang terjadi pada tahun 65 sewaktu ibunya dilahirkan. pada paragraf terakhir esainya ia mengatakan bahwa tahun ini ibunya berulang tahun yang ke-50 tahun. Ultah dari ibunya ini menjadi judul untuk membuka kumpulan esainya.
Dari beberapa esai yang disajikan dalam buku Menjadi Simpul Menggerakkan Asa ini, untuk bagian simpul mati judul “Pabrik-pabrik penghasil Buruh” sangat mengesankan bagi saya. Adanya job fair yang diadakan oleh pihak universitas bisa menjadi referensi membantu bagi calon alumni dari universitas untuk mencari kerja. Pendidikan dengan model seperti ini layaknya menciptakan tenaga kerja untuk menjadi buruh di dunia industri.
“Dalihnya adalah mempersiapkan peserta didik agar siap dalam persaingan dunia kerja yang semakin ketat” (halaman 23).
Dalam esai ini saya memahami bahwa Pendidikan seakan-akan seperti berorientasi untuk mencetak para buruh baru potensial. Padahal seharusnya, pendidikan menjadi sarana untuk membuat seseorang menjadi cerdas dan mampu memecahkan solusi pada masalah disekitarnya.
“Karena pendidikan formal seperti umumnya sekarang bukanlah pendidikan yang membebaskan karena menjabak peserta didiknya pada jurang kapitalisme” (hal.24)
Apabila pendidikan menganut sistem bank maka untuk memperoleh pendidikan kita harus membayar mahal untuk mendapatkan pendidikan dengan kualitas terbaik. Bagi yang tidak bisa membayar mahal maka ia bakal mendapatkan pendidikan yang biasa saja.
Dari yang saya tahu pendidikan saat ini memang sebuah kompetisi bagi orang-orang yang mempunyai otak yang encer dan juga pandai di ilmu eksak. Hingga akhirnya membuat orang-orang yang sekiranya kurang pandai menjadi terpinggirkan. Pendidikan seperti sebuah ajang untuk berkompetisi menjadi paling pandai bukan untuk mendidik manusia menjadi berpengetahuan secara merata dan tidak berat sebelah. Yang pandai makin pandai sedangkan yang kurang pandai tetap stagnan.
Disini saya tidak akan menguraikan esai secara keseluruhan. Hanya beberapa yang bisa saya kulik dikarenakan keterbatasan saya sebagai pembaca. Saya hanya mengambil sampel dari keempat bagian yang telah di sajikan namun sampel ini tidak semata-mata merepresentasikan keseluruhan tema esai. Mengingat topik yang dibahas dalam buku dengan gambar sebuah simpul ini membahas topik yang beragam.
Pada bagian simpul hidup saya tertarik untuk mengulas esai dengan judul “KKN sebagai Advokasi Sosial”. Dimana KKN menjadi salah satu hal yang wajib dilakukan oleh seseorang yang menyandang status ‘mahasiswa’ untuk melaksanakan salah satu isi dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.
“Ketimbang disebut sebagai ajang pengabdian, KKN mungkin lebih tepat menjadi ajang pembelajaran masyarakat dan advokasi sosial terhadap masyarakat”. (hal. 87)
Melalui buku terbitan EA books ini penulis menyampaikan bahwa selama KKN mahasiswa akan terjun langsung ke masyarakat untuk mengamati realitas yang terjadi di masyarakat. melalui esai ini ia juga bercerita seputar pengalamannya sewaktu KKN di Bogor tepatnya di desa Tegalega, Cigudeg, Bogor. Standar pendidikan yang masih jauh dari kurikulum 2013 didapati tempat ini. bahkan setingkat peserta didik kelas 6 SD masih ada yang belum dapat membaca dengan lancar. Mahasiswa menjadi tempat mengadu bagi masyarakat sekitar.
Menurut pengalaman saya sewaktu KKN, mengabdi selama satu bulan memang menjadi pengalaman yang luar biasa dimana sebelumnya tak pernah saya dapatkan di kelas. Melihat realita pendidikan yang masih belum ideal. Arahan dosen yang ingin begini dan begitu membuat mahasiswa bingung antara keinginan dosen dan fakta yang ada di masyarakat.
Penulis juga mengatakan bahwa fakta yang ada dilapangan memang tidaklah seindah yang dibayangkan oleh dosen. Biasanya dosen meminta para mahasiswanya untuk menerapkan latar belakang akademisnya di tempat KKN.
“Realitas lapangan tentu tidak selalu sama dengan persepsi para dosen yang mendambakan keadaan ideal bagaimana mahasiswa ber-KKN sesuai dengan latar belakang akademisnya” (hal. 88)
Setidaknya ketika mahasiwa melakukan KKN setiap apa yang dilakukannya menjadi perwujudan dari advokasi sosial dengan melihat lapangan. Selama sebulan mahasiswa tinggal dan membaur bersama masyarakat untuk belajar perihal hidup bermasyakat itu sepeti apa. Sedangkan di kampus, kita hanya belajar tentang teori saja.
Pada esai berjudul “Menjadi Simpul yang Menggerakkan Pustaka, Bukan Pencari Donasi” mengingatkan saya untuk berpikir kembali apa sebenarnya makna dari judul buku ini. barangkali yang saya pahami bahwa kita harus menjadi perekat layaknya simpul yang mengikat kuat yang berarti penggerak untuk melakukan kegiatan kemasyarakatan.
“…menjadi simpul Pustaka Bergerak Indonesia artinya siap bergerak untuk pustaka. Siap membantu untuk mewujudkan tujuan dari Pustaka Bergerak dengan menyebarkan virus membaca kepada masyarakat” (hal. 154-155)
Taman baca sebaiknya dibangun untuk menularkan virus membaca bagi masyarakat sekitar. Tidak hanya menghimpun buku-buku dari para donator. Akan tetapi juga terus berusaha menjalankan program-program yang telah dirancang sedemikian rupa.
Pada paragraf akhir esai penulis menyampaikan bahwa tidak literasi tidak melulu soal menghimpung buku dengan jumlah banyak untuk dibaca. Akan tetapi sejauh mana penggeraknya terus berusaha untuk konsisten dalam apa yang telah dilakukan. (hal. 155)
Dari tulisan ini sedikit menyentil saya yang bercita-cita ingin mendirikan sebuah taman baca untuk masyarakat di desa asal. Terus konsisten untuk menjadi simpul penggerak sangat perlu dilakukan selain hanya mengumpulkan buku-buku untuk dibaca.
Jika hanya mencari bantuan buku saja akan tetapi program yang dicanangkan tidak dilakukan dengan baik maka akan menjadi kurang afdol. Lebih baik lagi jikalau terus bergerak secara terus-menerus untuk mengenalkan dunia literasi pada masyarakat.
Dengan memiliki ketebalan 220 halaman, buku berjudul Menjadi Simpul Menggerakkan Asa ini ditutup dengan guyonan lucu dari penulis seputar JKT48. Hal ini dikarenakan tampaknya penulis sangat mengagumi girlband satu ini.
Tulisan ini pernah di muat di dekret.id pada rubrik Book Revidere
Komentar
Posting Komentar