Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2018

Resensi: Midah Simanis Bergigi Emas

Gambar
Dokumen Pribadi       Perempuan dalam Ganasnya Jalanan Judul Buku: Midah Simanis Bergigi Emas Penulis: Pramoedya Ananta Toer Penerbit: Lentera Dipantara Cetakan: Ketiga, Juli 2003 Tebal: 140 halaman     “Ah, sudara, manusia ini kenal satu sama sama lain, tapi tidak dengan dirinya sendiri. Memang tidak ada hasilnya untuk kemakmuran kita hendak mengenal diri, karena dia takkan menghasilkan kekayaan” -Pramoedya Ananta Toer- Midah Simanis Bergigi Emas sebuah novel ringan yang mengisahkan seorang  anak dari orang yang alim taat agama dan fanatik terhadap lagu-lagu arab dengan kulit kuning, berwajah bulat, cantik, bersuara lentik, dan berhati baja dari daerah Cibatok. Ia berpetualang di jalanan dan meninggalkan rumah karena ketidakadilan pengasuhan dalam keluarga dengan berlatar tempat Djakarta era 50-an. Awalnya ia merupakan anak tunggal, namun ketika berumur lebih dari sepuluh tahun adik-adik mulai hadir dalam kehidupannya dan mencuri perhatian bapaknya hingga akhirny

Cerpen: Pedagang Asongan dan sebuah perdebatan

Gambar
    Hujan masih terus bergerilya merayakan kekuasaanya untuk membasahi bumi. Memadamkan api yang menyulut dalam jiwa-jiwa yang sedang dilanda kobaran amarah. Aroma tanah yang khas di kala hujan turun memenuhi isi ruang tamu di mana aku duduk di sebuah kursi persidangan dengan berhakimkan seorang pria paruh baya duduk di depanku dengan kumisnya yang lebat dan wajah yang buram penuh amarah.     Aku hanya duduk termenung menunggu bibir ayah untuk berucap dan menghujani pernyataan-pernyataan yang membuat muak dan bingung. Ia memaksaku untuk menuruti keinginannya yaitu memasuki dunia perkuliahan dan perhelatannya. Tak ada secangkir kopi maupun teh di antara perbincangan kami. Aku tak pernah duduk berdua bersama ayah dan membicarakan hal serius sebelumnya. Sedangkan diluar sana hujan masih terus mengguyur tak menghiraukanku yang sedang dilanda bingung, cemas, dan marah ini. “Kamu harus kuliah, apapun alasanmu yang tak mau kuliah. Ayah akan tetap mengirimmu ke Yogyakarta untuk kuliah”